Lidia Friska, 17 tahun, acapkali telat tiba di sekolahnya , SMA Negeri 15 Padang, terletak di Kelurahan Cupak Tangah, Kecamatan Pauh, Padang. Siswi kelas XI IPS 4 itu, tiba di sekolah lewat dari waktu masuk sekolah, pukul 07.00 WIB.
Keterlambatan anak sulung dari tiga bersaudara dari pasangan
Misban, 42 tahun dan Idayati, 40 tahun, sempat menimbulkan tanda tanya
bagi segenap guru yang mengajar di sekolah tersebut. Pasalnya, Lidia
termasuk anak pintar, terakhir, menduduki rangking tiga di kelasnya.
Ternyata pihak sekolah tidak gegabah untuk menjatuhkan sanksi bagi
murid yang dianggap tidak disiplin.
Setelah ditelusuri, ternyata keadaan yang memaksa dia datang sering
terlambat. Jarak tempuh dari rumah ke sekolah relatif jauh dan itu pun
ditempuh dengan jalan kaki.
Lidia bersama orang tuanya tinggal di sebuah gubuk berukuran sekitar
3,5 x 4 meter di kaki bukit nan sunyi, di tepi aliran Sungai Kuranji,
tepatnya, Pintu Gabang Batubusuk RT 03, RW 3 Kelurahan Lambuang Bukik,
Kecamatan Pauh. Tak ada tetangga dekat, karena gubuk keluarga petani ini
memang terpencil sendiri, berada di tepi tebing dan di sampingnya
dikelilingi pepohonan nan rindang.
Kondisi seperti itu, tidak sedikitpun mengendurkan semangat Lidia
tekun belajar dan belajar demi menggapai cita-cita. “Saya ingin jadi
guru atau dosen,” kata Lidia Friska.
Maka, tidak mengherankan, di saat dingin mendera di keheningan subuh,
suasana sunyi-sepi, Lidia bangkit dari tidur. Itulah awal dari
persiapan pergi ke sekolah. Setelah makan pagi, pukul 05.30 WIB atau
paling lambat pukul 06.00 WIB, Lidia sudah berangkat ke sekolah.
Sambil menjinjing sepatu, Lidia menelusuri kawasan perbukitan dan
semak belukar, lalu melintasi jembatan gantung. Hanya sendiri. Setelah
berjalan kaki sekitar 400 meter, baru Lidia memasang sepatunya. Namun
perjalanan yang akan ditempuh masih jauh. Kemudian, Lidia melanjutkan
perjalanan, menelusuri jalan yang penuh dengan tanjakan dan penurunan
hingga ke PLTA PT Semen Padang (PTSP) di Batubusuk. Itu berarti, dari
gubuknya, Lidia telah berjalan kaki sejauh 4,5 kilometer.
Kemudian, dari PLTA Batubusuk, Lidia naik ojek ke sekolah yang
berjarak sekitar 9 kilometer dengan ongkos Rp5.000. “Syukur kalau
langsung dapat ojek, bisa tiba di sekolah sebelum pukul 07.00 WIB. Kalau
lagi sepi, ojek tak kunjung dapat , saya juga terlambat sampai
disekolah,” ungkap Lidia, anak kemenakan rang suku Jambak, kelahiran Padang,8 Agustus 1996.
Kalau masih punya uang, pulang sekolah pukul 14.30 WIB, Lidia
kembali naik ojek ke PLTA PTSP Batubusuk. Dan seterusnya melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki ke rumah. Itu artinya, Lidia butuh uang
minimal Rp10.000., hanya untuk ongkos ojek. “Dengan uang lima ribu
rupiah, Lidia juga pergi sekolah. Bahkan demam pun dia (Lidia) tetap
sekolah,” ucap Misban, ayah Lidia dan diaminkan sang ibunya, Idayati.
Kalau berbekal uang Rp5.000,-
dipastikan Lidia pulang sekolah tidak
naik ojek, tetapi jalan kaki dari sekolah sampai ke rumah, berjarak
sekitar 13,5 kilometer. Tak ada uang jajan, hanya persediaan air minum,
berarti jarak tempuh jalan kaki kondisi jalan penuh tanjakan dan
penurunan itu, mencapai 18 kilometer. Sampai di rumah pukul 16.00 WIB ,
kadang lewat. Namun, Lidia tetap sekolah. “Syukur cuaca baik. Kalau
hari hujan, saya sangat mencemaskan anak saya Lidia. Kadang saya tunggu
di seberang sungai, bahkan sampai ke Batubusuk” jelas Misban,
mengaku
tak punya lahan pertanian, sering bekerja sebagai buruh tani dan kuli
bangunan.
Kalau air sungai kecil, bisa jalan memintas, menyeberang sungai,
hemat jalan kaki 250 meter. Kalau air sungai besar, harus melewati
jembatan gantung dengan kondisi memprihatinkan, lantai kayu yang banyak
lapuk. “Sejak Sabtu (25/5), kondisi jembatan mulai baik, setelah di
sini,” ujar tokoh masyarakat setempat, Barun, 49 tahun.
Misban menjelaskan, sepulang sekolah, Lidia juga ikut membantu
mencari sayur pakis yang banyak tumbuh di sekitar tempat tinggal.
Biasanya, dapat paling banyak 30 ikat, kadangkala hanya 20 ikat saja.
Pakis teresbut dijual ke Batubusuk, dengan harga Rp1.000. per ikat.
Kalau membawa 30 ikat, dapat uang Rp30.000. dan dikeluarkan ongkos ojek
Rp5.000. Maka penghasilan bersih hanya Rp25.000.
Namun begitu kata Misban, penghasilan dari pakis memang sangat
membantu ekonomi keluarga, tetapi tidak selalu bisa diperoleh, terutama
ketika cuaca buruk atau musim hujan. Sementara kebutuhan harian
sekolah Lidia minimal Rp10.000,- hanya sekedar ongkos ojek, juga sangat
berat diperoleh. “Yang mendorong semangat saya terus berusaha, karena
semangat belajar Lidia yang tak pernah kendur. Dalam keadaan sulit
sekali pun Lidia terus berusaha sekolah dan belajar di rumah,” ucap
Misban.
“Saya berusaha untuk tidak mengecewakan orang tua. Walau ayah dan
ibu seperti ini, beliau sangat perhatian terhadap pendidikan Lidia.
Makanya Lidia senantiasa berdoa semoga dibukakan jalan mewujudkan
cita-cita,” ujarnya sendu, seraya melihatkan hasil rapor terakhirnya
dengan nilai-rata-rata: 8,3. Pengakuan Misban juga diakui salah seorang
tokoh masyarakat setempat, Badur.
Warga kampung itu pun sangat bersimpati pada Lidia. Kalau ketemu
Lidia di jalan pasti diboncengi warga, baik pagi saat ke sekolah
apalagi ketika pulang sekolah.
source: http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=23882:sang-juara-itu-jalan-kaki-135-km-tiap-hari-ke-sekolah&catid=21:khas&Itemid=190
0 comments on Sang Juara Itu Jalan Kaki 13,5 Km Tiap Hari ke Sekolah :
Post a Comment and Don't Spam!